A.Latar Belakang
Pada era masa orde baru kekuasaan Pemerintah Pusat di Indonesia sangat sentalistik dan semua daerah di negara ini hanya menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dimana dimasa itu rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto berupaya mewujudkan kekuasan sentripetal yang tentu berat sebelah antara daerah dengan pusat . Rezim Orde baru memusatkan segala kekuasan pemerintahaan sehingga mudah untuk mengontrol kendali pemerintahan namun di lain sisi hal ini justru menimbulkan ketimpangan baik sosial maupun ekonomi yang sangat jauh. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan melimpah justru keuntunganya dibagi-bagikan antar elite di Jakarta, alih-alih digunakan untuk pemerataan pembangunan didaerah.
Setelah tumbangnya era orde baru dengan digantikannya Presiden Soeharto dengan B.J. Habibie. Besarnya tuntutan dimasa itu membuat Presiden B.J. Habibie mengeluarkan kebijakan politik baru yang mengubah kekuasan antara pusat dan daerah dengan diterbitkanya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dengan keluarnya peraturan ini maka daerah tidak sepenuhnya didekte oleh pusat. Namun hal ini menimbulkan gejolak baru didaerah yaitu ingin merdekanya beberapa wilayah seperti Aceh, Papua, dan Maluku Selatan .
Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah yang digulir oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penetapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspon dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal. Harapan tersebut muncul oleh karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good governance dengan segala prinsip dasarnya.
Secara berangsur-angsur wilayah Indonesia mengalami beberapa pemekaran daerah otonom baru berupa Provinsi maupun kabupaten/kota yang disahkan oleh Presiden melalui Undang-undang. Provinsi-provinsi baru diantaranya seperti Banten, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan yang paling muda adalah Kalimantan Utara. Bahkan sampai saat ini di DPR masih dibahas mengenai pemekaran Daerah Otomom Baru (DOB). Daerah-daerah otonomi tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari Pemerintah Daerah sebagai penyelanggara pemerintah di daerah bersama dengan DPRD. Dari Latar belakang diatas menarik untuk dibahas mengenai dampak dari adanya otonomi daerah dan pengawasan pemerintah daerah.
Berlakunya sistem otonomi daerah merupakan amanat konstitusi, setelah UUD 1945 diamandemen, permasalahan mengenai pemerintah daerah tercantum dalam Bab VI yaitu dalam Pasal 18, Pasal 18 A, dan Pasal 18 B. Dalam Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Lalu pada ayat (5) “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Pemerintah daerah secara khusus diatur dalam UU No.2 Tahun 2015 jo UU No. 23 Tahun 2014.
Pada era masa orde baru kekuasaan Pemerintah Pusat di Indonesia sangat sentalistik dan semua daerah di negara ini hanya menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dimana dimasa itu rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto berupaya mewujudkan kekuasan sentripetal yang tentu berat sebelah antara daerah dengan pusat . Rezim Orde baru memusatkan segala kekuasan pemerintahaan sehingga mudah untuk mengontrol kendali pemerintahan namun di lain sisi hal ini justru menimbulkan ketimpangan baik sosial maupun ekonomi yang sangat jauh. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan melimpah justru keuntunganya dibagi-bagikan antar elite di Jakarta, alih-alih digunakan untuk pemerataan pembangunan didaerah.
Setelah tumbangnya era orde baru dengan digantikannya Presiden Soeharto dengan B.J. Habibie. Besarnya tuntutan dimasa itu membuat Presiden B.J. Habibie mengeluarkan kebijakan politik baru yang mengubah kekuasan antara pusat dan daerah dengan diterbitkanya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dengan keluarnya peraturan ini maka daerah tidak sepenuhnya didekte oleh pusat. Namun hal ini menimbulkan gejolak baru didaerah yaitu ingin merdekanya beberapa wilayah seperti Aceh, Papua, dan Maluku Selatan .
Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah yang digulir oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penetapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspon dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal. Harapan tersebut muncul oleh karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good governance dengan segala prinsip dasarnya.
Secara berangsur-angsur wilayah Indonesia mengalami beberapa pemekaran daerah otonom baru berupa Provinsi maupun kabupaten/kota yang disahkan oleh Presiden melalui Undang-undang. Provinsi-provinsi baru diantaranya seperti Banten, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan yang paling muda adalah Kalimantan Utara. Bahkan sampai saat ini di DPR masih dibahas mengenai pemekaran Daerah Otomom Baru (DOB). Daerah-daerah otonomi tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari Pemerintah Daerah sebagai penyelanggara pemerintah di daerah bersama dengan DPRD. Dari Latar belakang diatas menarik untuk dibahas mengenai dampak dari adanya otonomi daerah dan pengawasan pemerintah daerah.
Berlakunya sistem otonomi daerah merupakan amanat konstitusi, setelah UUD 1945 diamandemen, permasalahan mengenai pemerintah daerah tercantum dalam Bab VI yaitu dalam Pasal 18, Pasal 18 A, dan Pasal 18 B. Dalam Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Lalu pada ayat (5) “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Pemerintah daerah secara khusus diatur dalam UU No.2 Tahun 2015 jo UU No. 23 Tahun 2014.
Unduh file Makalah lengkap disini
0 komentar:
Posting Komentar